Pilpres, Makanan dan Kebebasan Berpendapat

Ketika semua orang terhubung dengan semua orang di jaman social media saat ini, apakah kita memang bebas memberikan pendapat kita tanpa memikirkan dampaknya?

Pilpres

Ada banyak pelajaran yang saya dapatkan dari pelaksanaan Pemilihan Presiden Indonesia 2014 (singkatnya, Pilpres). Yang terkait dalam topik kali ini adalah pelajaran yang saya dapat seputar postingan seputar Pilpres di social media. Ini contoh pendapat yang paling umum saya temukan:

Ini kan timeline gue! Suka-suka gue dong mau posting apa di sini!

Atau yang satu ini:

Kalo gak setuju pendapat gue, gak usah taruh comment. Pasti gue hapus.

Banyak memang postingan seputar Pilpres yang muncul di social media, terutama Facebook, mulai dari yang sangat netral dan informatif, sampai yang black campaign dan sampah habis. Bukan itu yang akan saya bahas di sini. Yang saya ingin bahas adalah dampak dari postingan pendapat yang kita lakukan itu.

Dalam jaringan social media yang terbuka, tentunya kita juga sadar bahwa apapun yang kita post akan dibaca oleh semua orang, atau setidaknya oleh teman-teman kita di jaringan tersebut. Tentu saja saya tidak akan membantah bahwa adalah hak masing2 orang untuk posting sesuai yang dia inginkan. Tapi tentunya kita juga harus sadar bahwa postingan kita juga akan membentuk pendapat orang lain mengenai diri kita sendiri.

Sebagai contoh, ada seorang rekan yang berbeda pilihan dengan saya. Berbeda pilihannya sih saya gak masalah. Tapi ketika yang dia posting adalah black campaign (berita bohong atau salah), biasanya saya kasih komentar untuk mengoreksi, lengkap dengan data yang benar dari sumber yang terpercaya. Tentunya ditambah dengan harapan dari saya bahwa dia akan menghapus postingan tersebut, krn toh yang dia posting sudah terbukti salah. Ternyata dia berkeras utk tidak menghapus, bahkan tidak mau mengakui bahwa yang dia posting itu salah. Dan keluarlah pernyataan di atas tadi, “suka-suka gue dong” Smile

Tanpa dia sadar, ada opini atau image baru yang terbentuk di pikiran saya mengenai rekan saya ini. Otomatis saya akan beranggapan bahwa dia adalah orang yang ngasal ketika melakukan sesuatu, karena tidak melakukan riset/cek-ricek dahulu sebelum posting. Otomatis saya beranggapan bahwa dia adalah orang yang tidak mau dikoreksi, karena tetap berkeras bahwa dia benar walaupun terbukti salah. Otomatis saya beranggapan bahwa dia adalah orang yang susah di atur, karena “suka-suka gue” tadi itu.

Kira2 apa yang akan terjadi ketika ada orang lain yang bertanya ke saya mengenai rekan saya ini? Ketika (mungkin) rekan saya mencari pekerjaan dan calon atasannya (karena kenal saya) menghubungi saya utk minta pendapat? Atau calon atasannya itu membaca postingan dia di social media? Atau customer nya? Atau partner nya? Atau siapapun lah. Kira2 image apa yang akan terbentuk mengenai rekan saya tadi?

Tentunya hal yang ingin saya angkat bukanlah mengenai perbedaan pilihan tadi, karena toh ada banyak rekan saya yg lain yang berbeda pilihan dengan saya dan berdebat sangat sengit di social media dengan saya, tapi kami melakukannya dengan cara-cara yang profesional dan saling adu fakta. Saya (dan orang lain yang membaca) tentunya akan lebih menghargai, bahkan mungkin menjadi nilai positif karena kami sama-sama menghargai perbedaan pendapat dan bisa berdebat dengan cara-cara yang baik.

Makanan

Lho, apa hubungannya dengan makanan? Karena saya secara kebetulan mengalami hal yang mirip, tapi kali ini bukan mengenai Pilpres, melainkan mengenai makanan.

Di sebuah social media, seorang rekan saya mencantumkan foto “pembantaian” hewan tertentu yang kemudian dijadikan makanan. Ditambah dengan tulisan bahwa semua orang yang makan daging hewan tersebut adalah orang-orang jahat, karena hewan tersebut pada dasarnya harusnya menjadi peliharaan, bukan makanan.

Di satu sisi saya tersinggung, karena saya jadi masuk kategori orang-orang jahat tadi. Di sisi lain saya bingung bagaimana dengan mudahnya kita bisa mengatakan orang lain sebagai orang jahat karena makanan yang dia makan. Bukan karena korupsi, bukan karena membunuh orang, bukan karena mencuri atau memfitnah, tapi karena makanan.

Mungkin kita lupa bahwa hewan yang menurut kita adalah peliharaan, mungkin menurut orang lain adalah makanan. Mungkin menurut orang lain lagi adalah dewa yang harus disembah. Mungkin menurut orang lain lagi adalah haram untuk disentuh sekalipun. Mungkin menurut orang lain lagi adalah hama yang harus dibunuh karena mengganggu panen. Lantas apa hak kita untuk mengatakan orang lain jahat hanya karena pilihan makanannya?

Bayangkan seandainya kita yang senang makan daging sapi (contohnya), tiba-tiba didemo di depan umum oleh penganut agama tertentu yang menganggap sapi sebagai hewan suci atau dewa, dan kita dianggap jahat sejahat2nya. Apa kira2 reaksi kita?

Kebebasan Berpendapat

Saya sepenuhnya percaya bahwa kita harus membuka kesempatan seluas-luasnya bagi semua orang untuk bebas berpendapat. Tapi tentunya hak kebebasan berpendapat itu harus disertai dengan kewajiban. Kewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu, apakah pendapat kita itu didasarkan pada fakta yang benar dan bukan berdasarkan asumsi. Kewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu apakah pendapat kita itu akan melanggar hak orang lain. Kewajiban untuk menerima juga bahwa orang lain juga punya hak untuk bebas berpendapat mengenai pendapat kita. Juga kewajiban untuk mengakui pendapat kita salah ketika memang terbukti salah.

Banyak orang lupa, bahwa social media itu sama seperti jalan raya dengan banyak orang yang lalu lalang. Apakah kita akan berteriak di pinggir jalan menyatakan pendapat kita sehingga di dengar semua orang? Mungkin tidak. Karena mungkin malu berteriak di depan umum. Mungkin malu siapa tau nanti kita salah. Mungkin malu siapa tau nanti ada yang tersinggung. Lantas kenapa kita berani “berteriak” di social media dengan isi yang sama? Smile

Yang harus diingat, hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Hak kita untuk bebas berpendapat dibatasi oleh hak orang lain untuk tidak “diganggu” dengan “teriakan” kita, apalagi kalau ternyata isinya salah. Juga dibatasi oleh hak orang lain untuk tidak dibilang jahat dengan sembarangan. Juga dibatasi oleh hak orang lain untuk mengoreksi pendapat kita jika ternyata salah.

Kebebasan berpendapat? Yes. Tapi tentunya yang bertanggung jawab.

Add a Comment