Artikel Kompas: Keuntungan Ekonomi Aplikasi Komersial
Wartawan TI senior Kompas, Rene L Pattiradjawane (RLP), baru-baru ini menulis artikel mengenai Keuntungan Ekonomi Aplikasi Komersial, yang merupakan hasil dari wawancaranya dengan CEO Microsoft, Steve Ballmer (SteveB). Tentu saja, untuk menghasilkan artikel berbobot yang berimbang, RLP juga mewawancarai Menristek Kusmayanto Kadiman (KK) yang merupakan salah satu tokoh pendorong implementasi Open Source di Indonesia melalui gerakan “Indonesia, Go Open Source”.
Tanpa banyak basa-basi, SteveB langsung memberikan jawaban to-the-point mengenai Free Open Source Software (FOSS), dengan mengatakan bahwa dia tidak percaya gagasan memberikan software secara gratis bisa secara bersamaan memberikan lapangan kerja. Tentu saja, dalam konteks Indonesia, penciptaan lapangan kerja adalah salah satu hal terpenting di industri manapun, termasuk industri TI. SteveB mengakui bahwa terdapat banyak contoh aplikasi gratis, seperti Firefox. Tapi kembali ke masalah bisnis dan lapangan kerja, menurutnya, “Kalau ditanya apakah bisa menghasilkan bisnis dari situ, saya bilang tidak akan ada bisnis dari situ, karena ada orang yang mengerjakannya secara sukarela atas waktunya sendiri. Kami memilih melakukannya secara profesional bisnis.”
Tentu saja yang lebih menarik adalah hasil interview dengan Pak KK. Sebagai tokoh pendorong Open Source utama di Indonesia, menarik sekali melihat kutipan pertama dari beliau yang justru berbicara mengenai koeksistensi antara open source dan proprietary, dan menekankan pentingnya interoperabilitas, salah satu hal yang sangat sering ditekankan oleh Microsoft. Bahkan Microsoft juga memiliki inisiatif yang disebut Document Interop Initiative (DII) untuk memastikan kebebasan pertukaran data antar aplikasi. Salah satu buktinya adalah ketika Microsoft Office 2007 Service Pack 2 menambahkan dukungan native terhadap format data ODF, selain juga PDF dan XPS. Mungkin ini yang dimaksud Pak KK ketika menyebutkan masalah interoperabilitias dokumen, dan memberi contoh ODT (Open Document Text), yaitu versi ODF untuk dokumen teks.
Selain interoperabilitas di level dokumen, tentunya juga ada interoperabilitas di level platform. Microsoft sudah cukup lama menggandeng institusi open source, baik perusahaan maupun yayasan nirlaba, untuk meningkatkan interoperabilitas ini. Beberapa contoh adalah kerja sama Microsoft dengan Apache Foundation, Mozilla Foundation, Novell (untuk SuSE), Zend (untuk PHP), Eclipse, dll. Di Indonesia? Salah satu contoh nya adalah PHP Developers Day, yang diselenggarakan oleh komunitas PHP di Indonesia bersama Microsoft. Dan bbrp bulan lalu, Microsoft dan UI bekerja sama membuka Open Source Interop Lab di Fakultas Ilmu Komputer UI.
Hal lain yang juga menarik adalah ketika Pak KK menganalogikan open source seperti jam session di dunia musik yang tidak bisa diatur 🙂 Hal ini justru yang sering menakutkan bagi pengguna open source, terutama perusahaan-perusahaan, karena tidak ada jaminan bahwa sebuah produk open source akan terus dikembangkan di masa depan (roadmap), atau bahkan apakah akan terus ada di masa depan. Contoh mudah adalah ketika ingin menggunakan Linux untuk desktop: distro mana yang akan digunakan, dan apakah distro itu akan tetap ada bbrp tahun ke depan? Dulu kita lebih mengenal distro Red Hat (yang sekarang berbayar), kemudian SuSE (yang sekarang dibeli oleh Novell), dan sekarang yang terkenal adalah Ubuntu (dari Canonical).
Menurut saya pribadi, sebaiknya pemerintah tidak perlu terlalu fokus kepada jenis teknologi mana yang akan digunakan. Pemerintah cukup memastikan bahwa teknologi yang digunakan adalah teknologi terbaik yang dapat menjawab kebutuhan pada saat itu dan juga di masa mendatang. Kalau kebetulan teknologi tersebut berasal dari dunia open source, ya silahkan digunakan. Tapi apabila teknologi tersebut ternyata berasal dari dunia proprietary, sebaiknya pemerintah juga cukup terbuka. Bukankah yang terpenting adalah kemajuan industri TI di Indonesia?
SteveB memberikan contoh yang tepat di sini, ketika diminta membandingkan produk mana yang paling berhasil. Dengan halus dia menolak membandingkan, karena memang perbandingan seperti itu sifatnya dinamis dan tergantung kebutuhan. Toh pada kenyataannya, lebih banyak orang condong untuk memilih produk Microsoft dengan membayar dibandingkan dengan produk yang diberikan secara gratis. Dan biarlah pasar yang menetukan, mana produk yang paling cocok dengan kebutuhan mereka, sama seperti pergeseran pasar netbook dari 98% Linux tahun lalu, menjadi 89% Windows tahun ini. Tentunya, pasar lebih tahu apa kebutuhan mereka.